Bid’ah dalam penjelasan kesempurnaan
syari’at
dan bahayanya
Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin v
بسم ال
الرحمن الرحيم
Segala puji hanya milik Allah Ι, kami
memuji-nya, meminta tolong, meminta
ampun hanya kepada-Nya, dan bertaubat
kepada-Nya. Kami berlindung
kepada Allah dari kejelekan diri-diri
kami dan dari kejelekan amal-amal
kami.
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh
Allah, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya. Dan barangsiapa yang
disesatkanNya, maka tidak ada
yang dapat memberikan petunjuk
kepadanya.
Kami bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
hak untuk disembah kecuali Allah
semata tanpa ada sekutu bagiNya. Dan
aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan rasul-Nya yang Allah
utus dengan petunjuk dan agama
yang haq, menyampaikan risalah,
menunaikan amanah, menasehatkan
umatnya dan berjihad di jalan Allah
dengan sebenar-benarnya, sampai
datangnya keyakinan (mati) dan
meninggalkan umatnya di atas jalan yang
terang, malamnya seperti siangnya,
tidak ada yang menyimpang dari
jalannya kecuali akan binasa.
Beliau menjelaskan pada jalan tersebut
sesuatu yang dibutuhkan umatnya
dalam seluruh perkara, sampai-sampai
Abu Dzar τ berkata :
"م#ا
ت#ر#ك#
الن#ب#ي
ط#ائ#را#
ي#ق#ل(ب#
ج#ن#اح#ي#ه#
ف#ي#
الس#م#اء#
إ#ل#
ذ#ك#ر#
ل#ن#ا
م#ن#ه#
ع#ل#ما#".
“Nabi ρ tidaklah meninggalkan seekor
burung pun yang mengepakngepakkan sayapnya di udara kecuali beliau ρ
telah menyebutkan kepada
kami ilmunya.”
Berkata seorang laki-laki dari kalangan
musyrikin kepada Salmān Al Fārisī
τ : “Apakah nabi kalian mengajari
kalian sampai buang hajat – adab buang
hajat – ?” Berkata Salmān τ :
“ya, sungguh beliau melarang kami
menghadap ke arah kiblat ketika kami
berak atau kencing, melarang kami
beristinja kurang dari tiga batu, dan
melarang kami ketika buang hajat
dengan menggunakan tangan kiri, atau
beristinja dengan kotoran hewan
dan tulang.”Sesungguhnya engkau telah
melihat Al Qur’an yang agung ini. Sungguh
Allah Ι telah menjelaskan pokok-pokok
agama dan cabang-cabangnya secara
menyeluruh. Allah menjelaskan tauhid
dengan seluruh macamnya,
menjelaskan segala hal sampai pada adab
bermajelis dan meminta idzin pun
telah di jelaskan. Allah Ι berfirman :
] ي#ا
أ#ي ه#ا
ال#ذ#ين#
آم#ن#وا
إ#ذ#ا
ق#يل# ل#ك#م#
ت#ف#س#ح#وا
ف#ي ال#م#ج#ال#س#
ف#اف#س#ح#وا
ي#ف#س#ح#
الل#ه#
ل#ك#م#
[
“Hai orang-orang beriman apabila
dikatakan kepadamu : "Berlapanglapanglah dalam bermajlis",
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu.” (Mujādilah :
11)
Allah Ι berfirman :
ي#ا
أ#ي ه#ا
ال#ذ#ين#
آم#ن#وا
ل ت#د#خ#ل#وا
ب#ي#وتا#
غ#ي#ر#
ب#ي#وت#ك#م#
ح#ت#ى
ت#س#ت#أ#ن#س#وا
و#ت#س#ل(م#وا
ع#ل#ى
أ#ه#ل#ه#ا
ذ#ل#ك#م#
خ#ي#رB
ل#ك#م#
ل#ع#ل#ك#م#
ت#ذ#ك#ر#ون#
* ف#إ#ن#
ل#م
ت#ج#د#وا
ف#يه#ا
أ#ح#دا#
ف#ل
ت#د#خ#ل#وه#ا
ح#ت#ى
ي#ؤ#ذ#ن#
ل#ك#م#
و#إ#ن#
ق#يل#
ل#ك#م#
ار#ج#ع#وا
ف#ار#ج#ع#وا
ه#و# أ#ز#ك#ى
ل#ك#م#
و#الل#ه#
ب#م#ا
ت#ع#م#ل#ون#
ع#ل#يم
B
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada
penghuni-nya. Yang demikian itu lebih
baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat. Jika kamu tidak menemui
seorangpun di dalamnya, maka janganlah
kamu masuk sebelum kamu mendapat izin.
Dan jika dikatakan kepadamu :
"Kembali (saja)lah, maka hendaklah
kamu kembali. Itu bersih bagimu dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (An Nuur : 27-28)
Dan Allah juga menjelaskan kepada kita
bagaimana adab berpakaian. Allah Ι
berfirman :
و#ال#ق#و#اع#د#
م#ن#
الن(س#اء#
الل#ت#ي
ل ي#ر#ج#ون#
ن#ك#احا#
ف#ل#ي#س#
ع#ل#ي#ه#ن#
ج#ن#احB
أ#ن#
ي#ض#ع#ن#
ث#ي#اب#ه#ن#
غ#ي#ر#
م#ت#ب#ر(ج#اتQ
ب#ز#ين#ة
Q
“Dan perempuan-perempuan tua yang
telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin
(lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan
tidak (bermaksud) menampakkan
per-hiasan, dan berlaku sopan adalah
lebih baik bagi mereka.” (An Nuur :
60)
Allah Ι berfirman :
ي#ا
أ#ي ه#ا
الن#ب#ي
ق#ل# ل#ز#و#اج#ك#
و#ب#ن#ات#ك#
و#ن#س#اء#
ال#م#ؤ#م#ن#ين#
ي#د#ن#ين#
ع#ل#ي#ه#ن#
م#ن#
ج#لب#يب#ه#ن#
ذ#ل#ك#
أ#د#ن#ى
أ#ن# ي#ع#ر#ف#ن#
ف#ل
ي#ؤ#ذ#ي#ن#
و#ك#ان#
الل#ه#
غ#ف#ورا
ر#ح#يما#
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka." Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al
Ahzāb : 59)
Allah Ι berfirman : و#ل
ي#ض#ر#ب#ن#
ب#أ#ر#ج#ل#ه#ن#
ل#ي#ع#ل#م#
م#ا
ي#خ#ف#ين#
م#ن#
ز#ين#ت#ه#ن#
“Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan.” (An Nuur : 31)
Allah Ι berfirman :
و#ل#ي#س#
ال#ب#ر
ب#أ#ن#
ت#أ#ت#وا
ال#ب#ي#وت#
م#ن#
ظ#ه#ور#ه#ا
و#ل#ك#ن#
ال#ب#ر#
م#ن#
ات#ق#ى
و#أ#ت#وا
ال#ب#ي#وت#
م#ن#
أ#ب#و#اب#ه#ا
“Dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.”
(Al Baqarah : 189)
Dan yang lainnya dari banyak ayat yang
menjelaskan bahwa agama ini
syaamil (menyeluruh) dan sangat
sempurna, sehingga tidak butuh kepada
suatu penambahan apapun, sebagaimana
pula tidak boleh adanya suatu
pengurangan sedikitpun. Oleh karena itu
Allah Ι berfirman mensifati Al
Qur’an :
و#ن#ز#ل#ن#ا
ع#ل#ي#ك#
ال#ك#ت#اب#
ت#ب#ي#انا#
ل#ك#ل(
ش#ي#ءQ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab
(Al Qur’an) sebagai penjelas segala
sesuatu.” (An Nahl : 89)
Maka tidaklah ada dari sesuatupun yang
dibutuhkan manusia dalam perkara
akhirat dan dunia mereka, kecuali Allah
Ι telah menjelaskan di dalam kitabNya baik secara nash, perkataan
atau pemahaman.
Wahai Saudara-saudaraku !!!
Sesungguhnya sebagian manusia
menafsirkan ucapan Allah Ι :
] و#م#ا
م#ن# د#اب#ةQ
ف#ي
ال#ر#ض#
و#ل
ط#ائ#رQ
ي#ط#ير#
ب#ج#ن#اح#ي#ه#
إ#ل#
أ#م#مB
أ#م#ث#ال#ك#م#
م#ا
ف#ر#ط#ن#ا
ف#ي ال#ك#ت#اب#
م#ن#
ش#ي#ءQ
ث#م#
إ#ل#ى
ر#ب(ه#م#
ي#ح#ش#ر#ون#
[
“Dan tiadalah binatang-binatang yang
ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
Mereka menafsirkan ucapan Allah : (تاب
الك في نا فرط ما ) bahwasannya Al Kitab
adalah Al Qur’an.
Adapun penafsiran yang benar :
Bahwasanya yang dimaukan dengan Al
Kitab di sini adalah Al Lauh Al
Mahfudz. Adapun Al Qur’an, sesungguhnya
Allah Ι mensifati dangan sifat yang
sempurna daripada penafian apapun,
yaitu ucapan-Nya :
و#ن#ز#ل#ن#ا
ع#ل#ي#ك#
ال#ك#ت#اب#
ت#ب#ي#انا#
ل#ك#ل(
ش#ي#ءQ“Dan
Kami turunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kalian sebagai penjelas
segala sesuatu.” (An Nahl : 89).
Dan mungkin seseorang akan berkata :
“Di manakah kami mendapatkan
jumlah shalat lima waktu dan jumlah
setiap shalat dalam Al Qur’an ? Dan
bagaimana cara menegakkannya padahal
kami tidak mendapatkan dalam Al
Qur’an penjelasan tentang jumlah
raka’at setiap shalat, sedangkan Allah
berfirman :
و#ن#ز#ل#ن#ا
ع#ل#ي#ك#
ال#ك#ت#اب#
ت#ب#ي#انا#
ل#ك#ل(
ش#ي#ءQ
؟
“Dan Kami turunkan Al Kitab (Al
Qur’an) kepada kalian sebagai penjelas
segala sesuatu.” (An Nahl : 89).
Jawabnya :
Allah Ι telah menjelaskan kepada kita
di dalam kitab-Nya, bahwa termasuk
kewajiban kita adalah mengambil sesuatu
yang dibawa oleh Rasulullah ρ dan
perkara-perkara yang ditunjukkan kepada
kita.
م#ن#
ي#ط#ع#
الر#س#ول#
ف#ق#د#
أ#ط#اع#
الل#ه#
“Barangsiapa yang mentaati Ar Rasul,
berarti dia mentaati Allah.” (An Nisaa
: 80)
و#م#ا
آت#اك#م#
الر#س#ول#
ف#خ#ذ#وه#
و#م#ا
ن#ه#اك#م#
ع#ن#ه#
ف#ان#ت#ه#وا
“Apa yang dibawa oleh Ar Rasul
kepadamu maka ambillah, dan apa yang
dilarang bagimu maka tinggalkanlah.”
(Al Hasyr : 7)
Dan sesuatu yang telah dijelaskan oleh
As Sunnah maka (harus diikuti),
karena Al Qur’an telah menunjukkan
kepada hal tersebut.
As Sunnah adalah termasuk salah satu
bagian dari wahyu yang Allah
turunkan kepada Rasul-nya ρ dan
mengajarkan kepadanya. Sebagaimana
Allah Ι berfirman :
و#أ#نز#ل#
الل#ه#
ع#ل#ي#ك#
ال#ك#ت#اب#
و#ال#ح#ك#م#ة#
“Dan Allah menurunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As
Sunnah).” (An Nisaa : 113)
Oleh karena itu, apa yang datang dalam
As Sunnah maka sungguh datang
pula di dalam Kitabullah Ι.
Wahai Saudara-saudaraku !! Apabila
telah tetap hal tersebut di sisi kalian.
Lalu dengan wafatnya Nabi ρ, apakah
masih tersisa sesuatu dari agama ini,
sebagai bentuk pendekatan (peribadatan)
kepada Allah, yang tidak
dijelaskan oleh Rasullullah ρ ?Nabi ρ
telah menjelaskan setiap perkara dalam agama ini, baik berupa
ucapan, perbuatan, penetapan di awalnya
atau sebagai jawaban atas
pertanyaan, dan kadang-kadang Allah
mengutus seorang A’robi (Arab
gunung) datang kepada Nabi ρ, karena
sesuatu perkara agama, di mana
para shahabat bermulazamah (bersama
beliau untuk menimba ilmu) dan
tidak bertanya tentangnya. Oleh karena
itu mereka – para shahabat –
gembira jika datang Arab gunung untuk
bertanya kepada Nabi ρ tentang
beberapa perkara. Dan menunjukkan
kepadamu bahwasanya Nabi ρ tidak
meninggalkan sesuatupun dari
perkara-perkara yang dibutuhkan manusia
dalam perkara ibadah, mu’amalah, dan
kehidupan mereka melainkan beliau
ρ telah menjelaskan semuanya.
Sebagaimana ditunjukkan kepadamu akan
hal tersebut dalam firman Allah τ :
ال#ي#و#م#
أ#ك#م#ل#ت#
ل#ك#م#
د#ين#ك#م#
و#أ#ت#م#م#ت#
ع#ل#ي#ك#م#
ن#ع#م#ت#ي
و#ر#ض#يت#
ل#ك#م#
ال#س#لم#
د#ينا#
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
bagimu agamamu dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku
ridhoi Islam sebagai agama
bagimu.” (Al Maidah : 3)
Apabila telah mantap hal tersebut di
sisimu wahai muslim, maka ketahuilah
setiap orang yang membuat-buat syari’at
(atau mengada-adakan
sesuatu yang baru dalam agama Allah)
walau tujuannya baik, maka
inilah (yang dinamakan) bid’ah yang
sesat dan dianggap mencela
agama Allah Ι, dan berdusta kepada
Allah pada firman-Nya :
ال#ي#و#م#
أ#ك#م#ل#ت#
ل#ك#م#
د#ين#ك#م#
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
bagi kalian agama kalian.” (Al Maidah
: 3)
Karena seorang mubtadi’ (orang yang
berbuat bid’ah) yang membuat
syari’at baru dalam agama Allah Ι,
yang bukan dalam perkara agama Allah,
seakan-akan dia sudah mengatakan :
“Sesungguhnya agama ini belum
sempurna, karena masih ada syari’at
yang harus dibuat, agar dia dapat
bertaqarrub kepada Allah Ι dengan
syari’at yang dibuatnya tersebut”.
Dan termasuk keanehan, bahwasanya ada
seseorang yang membuat suatu
perkara yang baru (bid’ah), yang
berkaitan dengan dzat Allah, nama-nama
dan sifat-sifatNya, lalu dia berkata :
Sesungguhnya saya melakukan ini
(membuat kebid’ahan ini) dalam rangka
mengagungkan Rabbnya, padahal
apa yang telah diperbuatnya tersebut
adalah perkara yang tidak berguna,
dan menyerupai firman Allah Ι :
ف#ل#
ت#ج#ع#ل#وا#
لل#ه#
أ#ند#ادا#
و#أ#نت#م#
ت#ع#ل#م#ون#
“Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan
dalam
keadaan kalian mengetahuinya.”
Sesungguhnya engkau akan
terheran-heran, ketika ada orang yang
mengadakan kebid’ahan dalam agama
Allah, yang berkaitan dengan Dzat
Allah di mana para salaful ummah dan
para Imam tidak berada di atasnya,
kemudian dia mengatakan : Sesungguhnya
ini perkara sia-sia kepada Allah
dan dianggap bentuk pengagungan kepada
Allah dan penyerupaan terhadap
firman Allah Υ.
ف#ل#
ت#ج#ع#ل#وا#
لل#ه#
أ#ند#ادا#
و#أ#نت#م#
ت#ع#ل#م#ون#
“Maka janganlah kalian menjadikan
bagi Allah tandingan-tandingan dalam
keadaan kalian mengetahuinya.”
Barangsiapa yang menyelisihi hal
tersebut, maka dia telah melakukan
penyerupaan atau yang semisalnya dengan
julukan-julukan yang jelek.
Sebagaimana juga engkau merasa heran
kepada suatu kaum yang
melakukan kebid’ahan dalam agama
Allah yang bukan bagian darinya,
dalam perkara-perkara yang bukan
berdasarkan apa yang telah diajarkan
oleh Rasulullah ρ, tapi kemudian
mereka mengaku bahwa mereka mencintai
Rasulullah ρ dan memuliakannya.
Kemudian orang yang tidak mencocoki
kebid’ahan mereka, mereka anggap
dia membenci diri Rasulullah ρ atau
yang semisalnya dengan julukan-julukan
yang jelek.
Dan juga termasuk keanehan, bahwasanya
orang-orang yang semisal
mereka mengatakan : “Kami adalah
orang yang memuliakan Allah dan
Rasul-Nya.” dalam keadaan mereka
telah berbuat bid’ah pada agama Allah
dan syariat-Nya yang telah dibawa oleh
Rasulullah ρ. Maka tanpa ragu lagi,
bahwasanya mereka itulah yang telah
mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana Allah Ι berfirman :
{يأ#ي
ه#ا ال#ذ#ين#
ء#ام#ن#وا#
ل# ت#ق#د(م#وا#
ب#ي#ن#
ي#د#ى#
الل#ه#
و#ر#س#ول#ه#
و#ات#ق#وا#
الل#ه#
إ#ن#
الل#ه#
س#م#يعB
ع#ل#يمB
}.
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mendahului Allah dan
Rasul-Nya. Bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujuraat :
1)
Wahai saudara-saudaraku !! Aku bertanya
dan bersumpah atas kalian
kepada Allah Υ dan aku menginginkan
jawaban dari hati kalian bukan dari
hawa nafsu kalian, dan dari ketetapan
agama, bukan dari sikap taklid
(mengekor) kalian, seperti
perkara-perkara yang berkaitan dengan dzat
Allah, sifat-sifat dan nama-nama-Nya,
atau perkara-perkara yang berkaitan
terhadap apa yang sudah disampaikan
oleh Rasulullah ρ. Kemudian merekaberkata : “Kami adalah
orang-orang yang memuliakan Allah dan Rasul-Nya.”
Apakah mereka lebih berhak memuliakan
Allah dan Rasul-Nya ? ataukah
mereka itu kaum yang tidak
menyimpangkan kaidah dusta terhadap syari’at
Allah. Dalam perkara yang dibawa oleh
syariat ini, mereka berkata : “Kami
beriman dan membenarkan perkara-perkara
yang dikabarkan kepada kami,
kami dengar dan kami taat pada
perkara-perkara yang kami diperintah dan
dilarang darinya” Sedangkan pada
perkara-perkara yang tidak dibawa
syari’at ini, mereka berkata : “Kami
menjauhkan diri dari hal tersebut dan
melarangnya. Tidak ada bagi kami untuk
mendahului Allah dan Rasul-Nya,
dan tidak boleh bagi kami untuk
mengatakan tentang agama Allah yang
bukan bagian darinya.”
Wahai, apakah kebenaran yang akan
memberikan rasa cinta dan
pengagungan kepada Allah dan Rasul-Nya
?
Tidak dapat diragukan lagi, bahwasanya
orang-orang yang mengatakan :
“Kami beriman dan membenarkan apa
yang dikabarkan kepada kami,
kemudian kami dengar dan kami taat pada
perkara-perkara yang
diperintahkan.” Dan mereka berkata :
“Sangat kurang sekali kemampuan
diri-diri kami untuk membuat sesuatu
dari syari’at Allah yang bukan dari
syari’at-Nya atau membuat suatu
kebid’ahan dalam agama yang bukan
bagian darinya.” Tidak ragu lagi
bahwasanya mereka adalah orang-orang
yang mengetahui kadar kemampuan dirinya
dan kadar penyelisihan mereka.
Mereka adalah orang-orang yang
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dan
menampakkan kejujuran kecintaan kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Tidaklah mereka berbuat bid’ah pada
agama Allah yang bukan bagian
darinya, baik dalam hal aqidah, ucapan
dan amalan. Dan sesungguhnya
kamu benar-benar akan takjub terhadap
suatu kaum dimana mereka
mengetahui sabda Rasulullah ρ :
«إ#ي#اك#م#
و#م#ح#د#ث#ات#
ا#ل#م#و#ر#
ف#إ#ن#
ك#ل#
م#ح#د#ث#ةQ
ب#د#ع#ةQ،
و#ك#ل#
ب#د#ع#ةQ
ض#ل#ل#ةQ،
و#ك#ل#
ض#ل#ل#ةQ
ف#ي
الن#ار#».
“Hati-hatilah kalian terhadap
perkara-perkara yang diada-adakan, karena
setiap perkara yang diada-adakan adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat, serta setiap kesesatan ada di
dalam neraka.”
Dan mereka mengetahui bahwasanya sabda
Nabi ρ : (Qة#ع#د#ب
#ل#ك)
bersifat umum,
mencakup semuanya (bahwa semua bid’ah
itu sesat, pent), yang dibatasi
dengan faktor keumuman dan pencakupan
yaitu (ل#ك
) dan yang berucap
dengan al kulliyah (keseluruhan) adalah
Rasulullah ρ yang tahu penunjukkan
lafadz ini. Beliau orang yang paling
fasih dan sebaik-baik penasehat terhadap makhluk, yang beliau tidak
berucap kecuali dengan sesuatu yang
,(ك#ل#
ب#د#ع#ةQ
ض#ل#ل#ةdiketahui
maknanya. Kalau begitu, Nabi ρ ketika bersabda : (Q
beliau ρ mengetahui apa yang
diucapkannya dan kandungan maknanya.Ucapan ini muncul dari beliau
tentang sempurna-nya nasehat untuk umat
ini.
Apabila telah sempurna 3 perkara pada
ucapan ini – sempurnanya nasehat
dan kehendak, sempurnanya penjelasan
dan kefasihan dan sempurnanya
ilmu dan pengetahuan – maka yang
dimaukan dengan ucapan ini adalah
sesuatu yang menunjukkan atas makna.
Apakah setelah lafadz al kulliyyah
ini membolehkan adanya pembagian bid’ah
kepada 3 macam atau 5
macam ? Pembagian ini selamanya tidak
boleh.
Dan ada seorang ulama yang mengatakan
bahwasanya ada bid’ah hasanah,
kemungkinan hal ini disebabkan ada
padanya dua keadaan :
1. Menganggap hal itu bid’ah padahal
bukan bid’ah
2. Hal tersebut adalah bid’ah yang
jelek akan tetapi dia tidak tahu
kejelekannya.
Setiap segala sesuatu yang diakui
bahwasanya ada bid’ah hasanah, maka
dijawab dengan dua keadaan yang
disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu,
tidak ada tempat bagi ahlil bid’ah
untuk menjadikan kebid’ahan mereka
sebagai bid’ah hasanah. Dan di tangan
kami ada pedang yang tajam dari
Rasulullah ρ (Qة#ل#ل#ض
Qة#ع#د#ب
#ل#ك).
Sesungguhnya pedang yang tajam ini dibuat di
tempat pembuatan nubuwwah dan risalah,
bukan di tempat yang ada
kegoncangan. Dan Nabi ρ membentuk-nya
dengan sempurna, maka tidak
mungkin ada pedang yang semisalnya ini
untuk dihadapkan pada seseorang
yang melakukan bid’ah dengan ucapan :
“Sesungguhnya bid’ah ini baik”
padahal Rasulullah ρ bersabda :
“Setiap bid’ah sesat”
Seakan-akan aku merasa pada jiwa-jiwa
mereka terdapat ‘hewan melata’,
ketika mereka berkata : Apakah yang
kamu katakan pada ucapan ‘Amirul
mu’miniin ‘Umar bin Khatthab τ
yang sesuai dengan kebenaran ketika beliau
memerintahkan Ubay bin Ka’ab τ dan
Tamiim ad Daary τ agar berdua
mengimami manusia (shalat tarawih) di
bulan ramadhan. Umar τ keluar
ketika manusia berkumpul pada imam
mereka dan berkata :
«نعمت
البدعة هذه والتي ينامون عنها أفضل من
التي يقومون»
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.
Jawabannya dari dua sisi :
Pertama : Tidak boleh bagi siapapun
untuk membantah ucapan Rasulullah ρ
dengan ucapan siapapun, walau dengan
ucapan Abu Bakr, ‘Umar, Utsmaan
atau ‘Ali ψ sekalipun mereka adalah
sebaik-baik manusia setelah Rasulullah
ρ, terlebih lagi dengan ucapan dari
selain mereka. Karena Allah berfirman :
{ف#ل#ي#ح#ذ#ر#
ال#ذ#ين#
ي#خ#ـل#ف#ون#
ع#ن#
أ#م#ر#ه#
أ#ن
ت#ص#يب#ه#م#
ف#ت#ن#ةB
أ#و#
ي#ص#يب#ه#م#
ع#ذ#ابB
أ#ل#يمB
}“Maka hendaklah orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah ρ)
takut
untuk ditimpakan kepada mereka fitnah
atau adzab yang pedih.” (An Nuur :
63)
Berkata Al Imām Ahmad v : “Apakah
engkau tahu apa itu fitnah ? Fitnah
adalah syirik. Kemungkian jika dia
menolak sebagian ucapan Nabi ρ maka
akan tertancap di hatinya sesuatu
penyimpangan. Lalu dia binasa.”
Berkata Ibnu ‘Abbas τ :
“Hampir-hampir saja kalian dijatuhkan batu dari
langit, aku mengatakan : “Berkata
Rasulullah ρ.” Malah kalian
mengatakan : “Berkata Abu Bakr dan
‘Umar.”
Kedua : Kita tahu dengan yakin
bahwasanya Amirul Mu’miniin ’Umar bin
Khotthob τ adalah orang yang paling
besar pengagungannya terhadap
ucapan Allah dan Rasul-Nya ρ. Dan
sudah masyhur bahwa beliau adalah
orang yang wukuuf (berhenti dan faham)
terhadap bantasan (hukumhukum) Allah Ι, sampai-sampai beliau
disifati dengan wakoof (berhenti)
terhadap ucapan Allah Ι.
Dikisahkan tentang seorang perempuan
yang membacakan ayat kepada
‘Umar τ - jika kisah ini shahih –
dalam pembatasan pemberian mahar
dengan kebodohan pada kebanyakannya di
mana perempuan tersebut
membacakan ucapan Allah Ι :
]وآتيتم
إحداهن قنطارا#[
“Sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka
dengan harta yang banyak.” (An Nisaa’
: 20)
{و#ك#ي#ف#
ت#أ#خ#ذ#ون#ه#
و#ق#د#
أ#ف#ض#ى
ب#ع#ض#ك#م#
إ#ل#ى
ب#ع#ضQ
و#أ#خ#ذ#ن#
م#نك#م
م(يث#ـقا#
غ#ل#يظا#
}
Kemudian ‘Umar melarang terhadap
perkara yang diinginkan dari
pembatasan pemberian mahar ini. Akan
tetapi kisah ini perlu diteliti kembali.
Dan yang dimaukan (kedua kisah ini)
adalah penjelasan bahwasanya Umar
τ adalah orang yang waqoof (diam)
terhadap batasan-batasan Allah, tidak
menentangnya, dan tidak didapati pada
diri ‘Umar τ penyelisihan terhadap
ucapan Saidil Basyar Muhammad ρ.
Dan penjelasan bahwa dia mengatakan
tentang bid’ah : “Sebaik-baik bid’ah”
dan bid’ah ini adalah bid’ah yang
diinginkan oleh Rasulullah ρ dengan
sabdanya : “Setiap bid’ah sesat”
bahkan mesti tinggalnya bid’ah yang
dikatakan ‘Umar bahwasanya bid’ah
ini “sebaik-baik bid’ah” ada di atas
bid’ah yang tidak masuk di bawah
kehendak Nabi ρ pada ucapannya :
“Setiap bid’ah sesat.” Kemudian
Umar τ mengisyaratkan denganucapannya : “sebaik-baik bid’ah
adalah ini” kepada jama’ah (shalat tarawih)
di bawah seorang imam yang sebelumnya
mereka berpisah-pisah (dalam
melaksanakan shalat tarawih). Asal
shalat tarawih telah ada dari Rasulullah
ρ. Sungguh telah tetap dalam As
Shahihain dari hadits Aisyah τ bahwasanya
Nabi ρ shalat di bulan ramadhan
mengimami manusia selama 3 malam dan
mengakhirkan shalat dari manusia pada
malam yang keempat, lalu beliau ρ
bersabda :
«إ#ن(ي
خ#ش#ي#ت#
أ#ن#
ت#ف#ر(ض#
ع#ل#ي#ك#م#
ف#ت#ع#ج#ز#و#ا
ع#ن#ه#ا»
“Sesungguhnya aku khawatir akan
diwajibkan kepada kalian (shalat tarawih)
kemudian kalian tidak mampu darinya.”
Shalat malam di bulan ramadhan secara
berjama’ah termasuk sunnah
Rasulullah ρ, kemudian ‘Umar τ
menamakannya dengan bid’ah dengan
asumsi bahwa Nabi ρ meninggalkan
shalat ini, menjadikan manusia
berpencar-pencar shalat di masjid, ada
yang shalat sendiri, satu imam
bersama satu orang, satu orang imam
bersama dua orang, atau lebih 3
orang sampai 10 orang, atau sekelompok
orang. Lalu Amirul Mu’miniin Umar
τ berpendapat dengan pendapat yang
benar yaitu mengumpulkan manusia
untuk berjama’ah di atas seorang
imam. Maka perbuatan ini dinisbatkan
terhadap berpisah-pisahnya manusia
sebelum bid’ah, yaitu bid’ah
i’tibariyyah idhofiyyah (asalnya
sudah ada) bukannya bid’ah secara mutlaq
insyaa’iyyah (tidak ada asalnya) yang
dimunculkan oleh Umar τ. Karena
sunnah ini sudah ada pada jaman Nabi ρ,
akan tetapi sunnah ini ditinggalkan
sejak jaman Nabi ρ sampai dikembalikan
lagi oleh ‘Umar τ. Sehingga dengan
adanya penghalang ini, selamanya
mustahil bagi ahlul bid’ah menjadikan
ucapan Umar ini sebagai dalil untuk
pembolehan terhadap sesuatu yang
mereka anggap baik dari kebid’ahan
mereka.
Dan berkata seseorang : “di sana ada
berbagai macam bid’ah yang ada
sebelum kaum muslimin dan mereka
mengamalkan bid’ah tersebut, yaitu
bid’ah yang tidak dikenal pada jaman
Nabi ρ seperti madrasah-madrasah
dan penulisan kitab-kitab dan yang
lainnya. Bid’ah inilah yang dianggap baik
oleh kaum muslimin sehingga mereka
mengamalkannya. Mereka
berpendapat bahwasanya hal tersebut
sebaik-baik amalan. Bagaimana
menggabungkan perkara yang
hampir-hampir saja bersepakat di atasnya di
antara kaum muslimin, dan di antara
ucapan kaum muslimin dengan ucapan
Nabi ρ : “Setiap bid’ah adalah
sesat.”
Jawabnya :
Kita katakan : Kejadian ini bukanlah
bid’ah, bahkan hal tersebut merupakan
wasilah (perantara) kepada yang
disyariatkan. Wasilah-wasilah tersebut
berbeda seiring dengan perbedaan waktu
dan tempat. Dan termasuk kaidah
yang telah ditetapkan bahwasanya
wasilah-wasilah mempunyai tujuan-tujuan hukum. Wasilah-wasilah yang
disyariatkan maka perkara itu
disyariatkan, adapun wasilah-wasilah
yang tidak disyariatkan maka perkara
itu tidak disyariatkan pula, bahkan
wasilah yang haram akan menjadi haram
pula. Perkara kebaikan apabila
wasilahnya untuk sesuatu yang jelek maka
menjadi jelek pula. Perhatikanlah
firman Allah Υ :
{و#ل#
ت#س#ب
وا# ال#ذ#ين#
ي#د#ع#ون#
م#ن د#ون#
الل#ه#
ف#ي#س#ب
وا# الل#ه#
ع#د#وا#
ب#غ#ي#ر#
ع#ل#مQ
ك#ذ#ل#ك#
ز#ي#ن#ا
ل#ك#ل(
أ#م#ةQ
ع#م#ل#ه#م#
ث#م#
إ#ل#ى
ر#ب(ه#م#
م#ر#ج#ع#ه#م#
ف#ي#ن#ب(ئ#ه#م#
ب#م#ا
ك#ان#وا#
ي#ع#م#ل#ون#
}
Mencela ilah-ilah musyrikin bukanlah
melampaui batas bahkan benar dan
sesuai pada tempatnya. Akan tetapi
mencela Rabb semesta alam merupakan
perkara melampaui batas yang bukan pada
tempatnya dan tindakan
kezaliman. Oleh karena itu celaan
ilah-ilah musyrikin yang dipuji merupakan
sebab luas menuju celaan terhadap Allah
karena mencela Allah haram dan
dilarang.
……… sebagai dalil bahwasanya
wasilah-wasilah untuk perkara ini ada
hukum-hukum yang dituju.
Madrasah-madrasah, penulisan ilmu, dan
penulisan kitab-kitab, jika hal itu
bid’ah maka tidak didapatkan pada jaman
Nabi ρ pada sisi ini, kecuali kalau
perkara tadi bukanlah yang dituju bahkan
hal itu merupakan wasilah. Dan
wasilah-wasilah mempunyai hukum-hukum
yang dituju. Oleh karena itu kalau
seseorang membangun madrasah untuk
mempelajari ilmu yang haram, maka
bangunan tersebut menjadi haram,
kalau dia membangun madrasah untuk
mempelajari ilmu syar’i, maka
bangunan tersebut disyari’atkan.
Jika ada yang berkata : “Bagaimana
menjawab tentang ucapan Rasulullah
ρ :
(من سن في
السلم سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها
إلى يوم القيامة)
“Barangsiapa melaksanakan suatu
sunnah dalam Islam sunnah yang baik,
maka dia akan mendapatkan pahala dan
pahala orang yang mengikutinya
sampai hari kiamat.”
Dan sunnah di sini bermakna “syar’i”
?
Jawabnya :
Bahwasanya barangsiapa yang mengatakan
: “سلم ال في سن من ”,
maka dialah
yang mengatakan : “ضللة
عة بد كل ”. Dan tidaklah mungkin muncul dari orang
yang benar dan dibenarkan ada ucapan
yang mendustakan ucapan yang
lain, tidaklah mungkin bertentangan
ucapan Rasulullah ρ selamanya, dan
tidak mungkin pula menolak makna yang
satu disertai pertentangan
selamanya. Barangsiapa yang menyangka
bahwasanya ucapan Allah atau
Rasul-Nya bertentangan, maka hendaklah
dia meneliti kembali. Jikaanggapan ini muncul bisa jadi dari
kelalaian atau kelemahannya. Dan tidak
mungkin selamanya didapati ucapan Allah
dan Rasul-Nya bertentangan.
Dan jika keadaannya seperti itu, maka
butuh kepada penjelasan ketidak
من سن في”
: terhadap hadits “كل بدعة
ضللة” adaannya pertentangan antara hadits
السلم”.
Nabi ρ berkata : “السلم في سن
من” maka bid’ah bukanlah dari Islam dan
beliau ρ mengatakan “hasanah” maka
bid’ah bukanlah hasanah. Berbeda
antara sunnah dengan bid’ah.
Dan di sana ada ucapan tidak mengapa :
bahwasanya makna (سن من) adalah
orang yang menghidupkan sunnah yang
sudah ada sebelumnya hanya
selama ini sudah ditinggalkan. Oleh
karena itu, Kata “السن” idhofah
nisbiyyah,
sebagaimana "عة
البد" idhofah nisbiyyah terhadap orang yang
menghidupkan
sunnah yang sebelumnya ditinggalkan.
Dan di sana ada jawaban yang ketiga :
yang menunjukkan ada padanya
sebab hadits ini yaitu kisah sekelompok
orang datang kepada Nabi ρ dalam
keadaan yang sangat sempit (kesusahan),
kemudian Nabi ρ berdo’a agar
ada yang memberikan sedekah kepada
mereka. Maka datanglah seorang
laki-laki anshor yang di tangannya ada
sekantung perak, seakan-akan berat
tangannya lalu meletakkannya di tangan
Rasulullah ρ, maka wajah Nabi ρ
bercahaya karena gembira, lalu bersabda
:
(من سن في
السلم سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها
إلى يوم القيامة)
Pada hadits ini makna “سن
ال” adalah mengamalkan sunnah yang telah
ditinggalkan dan bukanlah amalan
tasyri’i (pembuatan syariat) maka
adalah orang yang beramal dengan amalan
( من سن في ال سلم سنة ح سنة)
: makna
yang sudah ada sebelumnya, yang sudah
ditinggalkan, bukan tasyrii’
(amalan yang sebelumnya tidak ada),
karena At Tasyrii’ (pembuatan
syari’at) adalah terlarang
sebagaimana makna hadits “setiap bid’ah sesat”.
Hendaklah diketahui wahai saudara !
bahwasanya mutaaba’ah (mengikuti
Rasulullah ρ) tidaklah terealisasi
kecuali jika amalan tersebut mencocoki
syari’at pada enam perkara :
1. As Sabab (Sebab)
Apabila manusia beribadah kepada Allah
Υ dengan peribadatan yang
bergandengan dengan sebab yang tidak
syar’i, maka ibadah tersebut
bid’ah tertolak pelakunya.
Misalnya : Sebagian manusia
menghidupkan malam yang ke tujuh dan ke
sepuluh di bulan rajab dengan tujuan
bahwa malam-malam tersebut
adalah malam yang akan menghilangkan
segala macam musibah. Shalat
Tahajjud adalah ibadah akan tetapi
ketika digabungkan dengan sebab inimaka menjadi bid’ah, karena
ibadah ini dibangun di atas sebab yang
tidak ditetapkan secara syar’i.
Dan sifat ini – penyesuaian ibadah
terhadap syari’at karena sebab –
perkara yang penting yang menjelaskan
kebid’ahan yang banyak
disangka orang termasuk sunnah padahal
bukan sunnah.
2. Al Jins (jenis)
Harus adanya penyesuaian ibadah kepada
syari’at dalam hal jenisnya.
Kalau manusia beribadah kepada Allah
dengan ibadah yang tidak
disyariatkan jenisnya, maka ibadah itu
tidak diterima.
Misalnya : seseorang menyembe-lih kuda
(untuk idul qurban) maka tidak
sah penyembelihan dengan kuda, karena
menyelisihi syari’at dalam hal
jenisnya. Dan penyembelihan hewan
kurban harus dari hewan ternak,
unta,
sapi dan kambing.
3. Al Qadr (ukuran)
Kalau seandainya manusia mengingin-kan
untuk menambah shalat wajib,
maka kita katakan : ini adalah bid’ah
tidak dapat diterima, karena
menyelisihi syari’at dalam hal
ukuran. Dan terlebih lagi kalau manusia
shalat dhuhur – sebagai contoh –
lima rakaat, maka shalatnya tidak sah
sesuai dengan ijma’ (kesepakatan kaum
muslimin).
4. Kaifiyyah (tata cara)
Contoh : Seseorang berwudhu dimulai
dengan mencuci kedua kakinya,
lalu mengusap kepala, mencuci kedua
tangan, lalu wajahnya, maka kita
katakan : wudhunya batil karena
menyelisihi syariat yang tidak sesuai
tata caranya.
5. Az zamaan (waktu)
Contoh : Seseorang berkurban di awal
bulan Dzulhijjah, maka tidak
diterima kurbannya karena menyelisihi
syariat dalam waktu
pelaksanaannya.
Aku mendengar bahwasanya sebagian
manusia pada bulan Ramadhan,
menyembelih kambing dalam rangka
bertaqorrub (beribadah) kepada
Allah, maka amalan ini termasuk bid’ah
karena sisi waktu ini. Karena di
sana tidak ada sesuatu yang dapat
bertaqorrub kepada Allah dengan
penyembelihan kecuali saat al
udh-hiyyah (idul adh-ha), hadiyah dan
aqiqah. Adapun penyembelihan di bulan
ramadhan disertai keyakinan
mendapat pahala seperti menyembelih
dalam idul adha maka hal ini
adalah bid’ah. Adapun menyembelih
sekedar diambil dagingnya
(dimakan) maka ini dibolehkan.
6. Al Makaan (tempat)Contoh : Seseorang
itikaf di tempat selain daripada masjid, maka
itikafnya ini tidak sah, karena itikaf
tidaklah dikerjakan kecuali di masjidmasjid. Kalau seorang wanita
berkata : aku ingin beritikaf di suatu
tempat (tempat khusus shalat)
di rumah, maka tidak sah itikafnya
karena menyelisihi syari’at dalam hal
tempat pelaksanaannya. Dan di
antara lainnya apabila seseorang ingin
melakukan thawaf lalu tempat
thawaf tersebut telah sempit dan tempat
di sekitarnya pun sempit. Lalu
dia berthawaf dari belakang masjid,
maka tidak sah thawafnya karena
tempat thawaf adalah di baitullah.
Allah Υ berfirman kepada Nabi Ibrahim
Al khaliil :
{و#ط#ه(ر#
ب#ي#ت#ى#
ل#لط#آئ#ف#ين#
و#ال#ق#آئ#م#ين#
و#الر
ك#ع# الس
ج#ود# }.
“dan sucikanlah rumahKu ini bagi
orang-orang yang thawaf, dan orangorang yang beribadat dan
orang-orang yang ruku' dan sujud.” (Al Hajj :
26)
Ibadah akan menjadi amalan yang sholeh
dan diterima di sisi Allah
apabila terealisasi dua syarat :
1. Al Ikhlas
2. Al Mutaaba’ah (mengikuti sunnah
Nabi ρ)
Al Mutaba’ah tidaklah terealisasi
kecuali harus ada padanya enam perkara
yang baru saja disebutkan.
Kepada orang yang melakukan kebid’ahan
- yang terkadang tujuan mereka
baik dan menginginkan kebaikan – aku
katakan kepadanya : “Jika kamu
menginginkan kebaikan, maka tidak, demi
Allah, kamu tidak akan
mendapatkan kebaikan tersebut !! karena
kami tidak mengetahui jalan
kebaikan kecuali jalan yang telah
ditempuh oleh para salafus shaleh.
Wahai saudara-saudara ku !! gigitlah
sunnah Rasulullah ρ dengan gigi
geraham kalian, tempuhlah jalan para
salafus sholeh dan jadilah seperti apa
yang mereka ada di atasnya, dan
lihatlah apakah hal itu membawa
mudhorot untuk kalian terhadap sesuatu
hal?
Aku katakan : - dengan meminta
perlindungan kepada Allah atas ucapanku
yang tidak ada pada sisiku suatu ilmu –
engkau dapatkan banyak orang
yang bersemangat di atas kebid’ahan
yang dibuat untuk menyampaikan
perkara-perkara yang ditetapkan
syari’at dan sunnah. Apabila mereka
selesai dari kebid’ahan ini, mereka
akan menerima sunnah yang tetap dalam
keadaan lemah. Ini semua efek negatif
bahayanya bid’ah. Dan bahayanya
sangat besar bagi agama ini. Tidaklah
suatu kaum yang mengada-adakan
dalam agama ini suatu kebid’ahan
kecuali akan lenyaplah sunnah yangsemisalnya atau yang lebih dari
itu. Sebagaimana yang disebutkan sebagian
ahlul ilmi dari kalangan salaf.
Akan tetapi manusia beranggapan (dengan
anggapan yang salah-penj) jika
dengan mengikuti sesuatu yang tidak
disyariatkan, maka akan tercapai bagi
mereka kesempurnaan rasa takut,
ketundukkan, penghinaan diri dan
beribadah kepada Rabbul ‘alamiin, dan
kesempurnaan ittiba kepada
Rasulullah ρ.
Kepada para saudaraku muslimin yang
berbuat suatu bid’ah dengan
anggapan baik, sama saja apakah yang
berkaitan terhadap Dzat Allah,
nama-nama dan sifat-sifatNya atau yang
berkaitan pada diri Rasulullah ρ,
maka Aku nasihatkan kepada mereka agar
bertakwa kepada Allah dan
berbuat adillah, dan jadikanlah
perkara-perkara mereka dibangun di atas
ittiba’ bukan di atas ibtida’
(perkara yang diada-adakan), di atas keikhlasan
kepada Allah bukan di atas kesyirikan,
di atas sunnah bukan di atas bid’ah,
dan di atas sesuatu yang dicintai Ar
Rahman bukan di atas sesuatu yang
dicintai syaithon. Dan hendaklah
memperhatikan apa yang dapat membawa
hati-hati kalian pada keselamatan,
kehidupan, tu’maninah (ketenangan),
kelapangan hidup, dan pancaran cahaya.
Aku memohon kepada Allah agar
menjadikan kita sebagai penunjuk kepada
jalan kebenaran, penuntun kepada
kebaikan, dan menyinari hati kita dengan
keimanan dan ilmu, dan janganlah
menjadikan sesuatu yang kita tidak tahu
sebagai keburukan bagi kita.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan
kepada Nabi kita Muhammad ρ,
keluarganya dan para shahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar